Tuesday, September 14, 2010

Kolonel Adjie Suradji Kritikus SBY Terancam Dipecat dari TNI

Bisa jadi yang ada dibenak Adjie adalah bahwa negara ini sekarang sudak lebih demokratis, berbeda dengan masa Indonesia di era tahun 70-80an saat Pak Harto masih berkuasa, sehingga Adji berpikir dirinya sebagai warga negara berhak untuk mengungkapkan opininya, uneg-unegnya ke ranah publik. Atau mungkin juga Kolonel Angkatan Udara ini mengerti konsekuensi perbuatannya tersebut, namun karena hatinya sudah geram melihat kondisi sehingga berbuat nekad melawan mainstream aturan TNI yang ada, entah mana yang lebih mendasari tindakannya mengkritik presiden SBY di media.

Kolonel Adjie Suradji pengkritik Presiden SBY

Kolonel Adjie Suradji pengkritik Presiden SBY

Bagi yang belum tau isi kritik Adji Suradji di Harian Kompas bisa baca dibawah ini isinya:

Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan

Oleh: Adjie Suradji
Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan.
Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain.
Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.
Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soeharto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan.
Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional.
Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa (Ferdinand I, 1503-1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.
Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?
Keberanian
Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan.
Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.
Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya.
Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi?
Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?
Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).
Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.
Adjie Suradji, Anggota TNI AU

Kompas, Senin 6 September 2010

Lalu apa yang salah dari tulisan diatas, tentu saja menurut aturan TNI dianggap salah dan melanggar undicipliner karena kita ingat apa yang tertuang di butir 5 Sapta Marga TNI yang berisi:

Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan Prajurit.
(Butir kelima Sapta Marga TNI)

Adjie terancam sanksi berat. Hingga kini, Mabes TNI AU masih melakukan pemeriksaan terhadap personel Staf Operasi Mabes TNI AU itu.

“Sanksinya akan ditentukan kalau (pemeriksaan) sudah selesai. Kalau ditanya yang teringan sampai yang berat memang teguran hingga pemecatan,” ujar Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama Bambang Samoedro, Rabu (8/9).

TNI AU menegaskan bahwa tulisan Adjie yang mengkritik kepemimpinan SBY dalam memberantas korupsi itu melanggar kode etik dan undang-undang TNI. “Tulisan itu sama sekali bukan pendapat angkatan udara. Dan juga, tidak ada izin untuk mengirimkan ke media,” kata mantan Danlanud Iswahyudi Madiun itu.

Ketua umum persatuan purnawirawan TNI AU Herman Prayitno juga turut prihatin atas kasus ini. Herman menuturkan, apabila ingin menulis yang sifatnya mengkritisi, memberi saran atau mengkritik, disediakan ruang dan wadahnya, yaitu setiap anggota TNI mendapat pendidikan baik di Lemhannas maupun di sekolah staf. “Disitu silakan menulis apa pun, tidak masalah,” katanya dalam jumpa pers di Klub Persada Halim Perdanakusumah.

Di TNI AU, lanjut Herman, setiap tahun ada lomba karya tulis. “Silakan mengkritisi di karya tulis itu. Tetapi, jangan ke media. Karena, menimbulkan kesan TNI tidak solid dan ini bahaya. Anak buah tidak boleh bertanya kepada atasannya tentang apapun apalagi mengkritik,”katanya.

Publikpun mengelu-elukannya. Dia dianggap tentara pemberani dan kritis, menyimpang dari mainstream yang ada. Dukunganpun berduyun-duyun, dari beberapa pengamat militer, aktivis sipil juga kalangan DPR. Jadilah sang kolonel tampil bak demokrat sejati di media massa.

Namun apa daya, harga yang musti dibayar dari sebuah perjuangan memang mahal, dan kini Kolonel Adjie bersiap membayarnya dengan apapun sanksi yang bakal dijatuhkan padanya oleh organisasi TNI.
Diolah dan dirangkum ruanghati.com dari berbagai sumber: Kompas, JPNN, Vivanews

No comments:

Post a Comment